PALANGKA RAYA-Aliansi Organisasi Masyarakat (Ormas) Dayak Kalimantan Tengah menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum mitra perusahaan perkebunan di Kabupaten Kotawaringin Barat.
Kecaman ini disampaikan menyusul dugaan penculikan dan penganiayaan terhadap Kristianto D. Tunjang alias Deden, tokoh adat Dayak sekaligus Ketua Umum Ormas Betang Mandau Talawang Kalteng. Peristiwa yang terjadi pada Selasa, 17 Juni 2025 itu disebut berlangsung di luar area konsesi PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi, anak perusahaan Astra Agro Lestari Group.
Menurut keterangan Aliansi, tindakan kekerasan itu diduga diperintahkan langsung oleh Agus Wirantara, Humas CDO PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi. Ia disebut memerintahkan sekelompok personel pengamanan mitra perusahaan untuk menculik dan menganiaya Kristianto.
Tak hanya itu. “Tindakan tersebut termasuk penyiksaan tidak manusiawi,”ucap Aliansi dalam pernyataan sikap resminya. Sejumlah barang pribadi milik korban pun dilaporkan turut disita secara paksa. Antara lain satu unit mobil Toyota Innova beserta barang berharga di dalamnya, dua buah radio HT, lima unit telepon seluler, serta penghapusan data di seluruh perangkat elektronik korban.
“Berdasarkan analisis yuridis dan hukum yang berlaku di Indonesia, tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) dan ketentuan hukum pidana,” kata juru bicara Aliansi, EP Romong Sabtu (21/6/2025).
Mereka merujuk pada sejumlah pasal KUHP—seperti Pasal 170, 333, 335, dan 351—yang mengatur tindak pidana penganiayaan dan penculikan. Selain itu, tindakan penyiksaan disebut melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Pelanggaran lain yang disorot adalah penyitaan barang dan penghapusan data pribadi secara ilegal, yang melanggar Undang-Undang ITE, khususnya UU No. 19 Tahun 2016 yang memperbarui UU No. 11 Tahun 2008.
“Tindakan yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah ini jelas mencederai asas perlindungan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D dan Pasal 28G UUD 1945,” lanjut mereka.
Aliansi menegaskan bahwa mereka menolak keras segala bentuk kekerasan dan perampasan hak milik yang dinilai merusak tatanan sosial dan budaya masyarakat Dayak yang selama ini hidup rukun dan damai.
“Oleh karena itu, kami meminta aparat penegak hukum di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Pemerintah Pusat untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh, serta menindak tegas semua pihak yang terlibat, dengan prinsip transparansi,” tegas mereka.
Aliansi juga menyerukan agar lembaga perlindungan HAM turut turun tangan memberikan pemulihan bagi korban, sejalan dengan prinsip keadilan restoratif.
Seluruh tokoh adat Dayak dan lembaga adat se-Kalimantan Tengah menyatakan siap mengawal proses penyelesaian kasus ini melalui jalur peradilan adat.
“Langkah ini penting untuk mencegah terulangnya pelanggaran yang bertentangan dengan nilai budaya dan kearifan lokal kami,” ujar mereka.
Aliansi turut mendesak pihak perusahaan dan mitranya untuk meninjau ulang pola kerja mereka agar menghormati hak asasi manusia serta norma hukum yang berlaku di wilayah adat Dayak.
“Kami berharap pernyataan sikap ini menjadi perhatian serius semua pihak demi terwujudnya keadilan, keamanan, dan penghormatan terhadap hak serta budaya masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah,” kata mereka.
Adhi, salah satu anggota Ormas, menyatakan bahwa pihaknya memberi tenggat waktu kepada pihak terkait untuk memberikan respons.
“Kita berikan jeda waktu 3×24 jam, kita akan lihat reaksinya bagaimana. Hari Selasa batas akhirnya. Ini adalah satu nasib ormas. Kalau satu ormas terciderai, ya ormas yang ada di dalam ini semua akan bereaksi,” tegasnya.